Sidang perkara tipikor sewa gedung DPRD Kabupaten Teluk Bintuni di penginapan Kartini, di Pengadilan Tipikor Papua Barat, Manokwari, Jumat, 22 November 2024. Foto: TIM2
Manokwari – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Teluk Bintuni, Theophilos K. Auparay, SH menghadirkan 2 saksi dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) sewa gedung Kantor DPRD Kabupaten Teluk Bintuni periode 2020-2023.
Kedua saksi yang dihadirkan, yaitu: anggota DPRD Teluk Bintuni, Stefanus Balubun kala itu dan pemilik penginapan Kartini, Hj. Kartini, di Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Jumat, 22 November 2024 sore.
Sidang dipimpin ketua majelis hakim, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH, dimana kedua terdakwa, Mesak Passalli (Sekretaris DPRD Teluk Bintuni) dan Thomas Sanggemi (Kabag Keuangan Setwan Teluk Bintuni) didampingi penasehat hukumnya, Pieter Wellikin, SH dan Paulus S.R. Renyaan, SH.
Menurut Stefanus Balubun, sewa gedung DPRD sesuai kesepakatan pimpinan dan anggota dewan, disampaikan ke Sekwan untuk mencari tempat sebagai kantor operasional atau kantor sementara DPRD.
Namun, ia mengaku sebagai anggota dewan, dirinya tidak tahu soal anggarannya, hanya sebatas mengetahui sewa gedung penginapan Kartini. “Ada aktivitas dan rapat paripurna di situ,” kata Stefanus Balubun menanggapi pertanyaan penuntut umum.
Menanggapi pertanyaan penasehat hukum terdakwa, Stefanus Balubun mengutarakan, pada 2020 saat pandemi Covid-19, pihaknya tetap beraktivitas seperti biasa, termasuk pada 2021.
Terkait kondisi fasilitas gedung DPRD Teluk Bintuni yang direnovasi, Stefanus Balubun mengatakan, ruang paripurna, ruang komisi, dan lain-lain memang mengalami kerusakan parah. “Dampaknya seperti kita jalan di atas air,” ungkap Stefanus Balubun.
Saksi mengaku tidak tahu soal kontrak pembangunan gedung DPRD, yang awalnya disebutkan akan direnovasi selama 3 bulan, tapi akhirnya molor sampai 3 tahun anggaran.
Dicecar hakim anggota, Hermawanto, mengapa para anggota dewan tidak mempertanyakan proses renovasi kantor DPRD yang berlangsung sangat lama, sejak 2020-2023.
“Kami juga pernah pertanyakan ke Sekwan, tapi memang masih dikerjakan,” kata Stefanus Balubun. Namun, alasan saksi langsung ditepis Hermawanto dengan mengatakan ‘ini kok mengawasi rumah sendiri saja tidak bisa, apalagi mengawasi yang ada di luar’.
Menurut Hermawanto, sangat tidak masuk akal proses renovasi Kantor DPRD Teluk Bintuni dialokasikan hingga 3 tahun anggaran.
“Itu ada tim anggarannya sendiri. Sebenarnya, fungsi pengawasan itu melekat ke setiap anggota dewan,” jawab Stefanus Balubun.
Hermawanto mencecar alasan renovasi tidak cukup 12 bulan, apakah sengaja dilama-lamakan agar ada kelebihan? Lanjut Hermawanto, dari 7 anggota DPRD Teluk Bintuni yang dihadirkan ke persidangan, semua tidak bisa memberi penjelasan yang masuk akal tentang renovasi gedung DPRD hingga 3 tahun anggaran.
“Ya mungkin kondisi Covid, mungkin juga pekerjaan terhenti terkait penganggaran yang mungkin lambat, jadi dia lambat kerja, tapi memang ini renovasi total pak,” jelas Stefanus Balubun.
Terkait alasan tersebut, tegas Hermawanto, yang namanya renovasi gedung tidak lebih dari 75 persen. Apabila lebih dari 75 persen, lanjut dia, sama saja melakukan pembangunan baru. “Memang renovasinya lebih dari 75 persen,” jawab saksi.
Sementara itu, Hj. Kartini menegaskan, dirinya tak memberikan uang ke siapa pun, termasuk kepada saksi Simon Dowansiba selaku Ketua DPRD, selain ke terdakwa, Thomas Sanggemi.
Dijelaskan saksi, dari uang sewa Rp. 300 juta per bulan, disisihkan Rp. 50 juta untuk terdakwa membayar ‘pajak pusat’ (PPh dan PPN), sedangkan pajak 10 persen dibayar saksi secara langsung ke Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).
Diungkapkan Hj. Kartini, pembayaran Rp. 50 juta per bulan dari sewa gedung sesuai amanat dari almarhum suaminya, tetapi sisa dari uang pembayaran ‘pajak pusat’ belakangan disebut sebagai ‘uang terima kasih’.
Dari sewa gedung sebesar Rp. 300 juta per bulan, tegas Hj. Kartini, gedung dipakai atau tidak, tetap harus dibayarkan, termasuk di dalamnya sewa gedung besar Rp. 7 juta per hari dan sewa gedung kecil Rp. 3 juta per hari. “Iya pak, pakai tidak pakai tetap Rp. 300 juta per bulan,” ungkap Hj. Kartini.
Ditanya siapa yang menyetujui kontrak sewa sebesar Rp. 300 juta per bulan? Saksi menjelaskan, waktu itu mereka menawarkan sewa gedung sebesar Rp. 350 juta per bulan, tetapi ditawar Rp. 250 juta dan disepakati di angka Rp. 300 juta per bulan, termasuk pajaknya.
Menurut dia, kesepakatan sewa gedung antara Ketua DPRD bersama kedua terdakwa yang kala itu menjadi Sekwan dan Kabag Keuangan Setwan DPRD Teluk Bintuni.
Dia mengatakan menandatangani kontrak sewa gedung yang dibawa ke ruko (penginapan) untuk ditandatangani. Dirinya juga mengaku membaca isi dari kontrak sewa gedung dan di dalam dokumen kontrak ada kesepakatan Rp. 300 juta per bulan.
Saksi sempat terlihat bingung ketika ditanya hakim anggota, mengapa kesepakatan sewa gedung sebesar Rp. 300 juta per bulan, tetapi dalam kontrak ada tertulis juga sekitar Rp. 469,2 juta per bulan. Namun, tegas Hj. Kartini, kontrak sewa gedung tetap Rp. 300 juta per bulan.
Saksi hanya menjawab tidak tahu dan lupa soal rincian sewa gedung sekitar Rp. 469,2 juta per bulan seperti dalam kontrak.
“Kalau ibu tidak terima uang boleh ibu bilang lupa. Ini uang semua, jumlahnya Rp. 9 miliar. Kalau saya dapat Rp. 9 miliar, saya ingat detik per detik. Dengan uang ini, bisa bikin hotel baru lagi,” papar Hermawanto.
Apalagi, sambungnya, ketika masa pandemi Covid-19, tingkat hunian hotel atau penginapan menurun drastis, bahkan kosong, tetapi kondisi ini tidak dirasakan penginapan Kartini, karena setiap bulan ada pembayaran sewa gedung.
Terkait dokumen yang disita penyidik kepolisian dalam penanganan perkara ini, Hj. Kartini mengatakan, waktu polisi datang mengambil dokumen, tidak ada tanda terima yang diberi polisi kepada saksi.
Dicecar siapa nama polisi yang melakukan penyitaan dokumen kontrak sewa gedung DPRD tanpa tanda terima, Hj. Kartini mengaku lupa nama dari penyidik kepolisian, tetapi yang diketahuinya orang tersebut adalah polisi.
“Dia datang ke rumah minta. Saya langsung kasih semua yang ada di dalam. Lalu, dokumen difotocopi, dikembalikan lagi,” jelas Hj. Kartini.
Ditanya soal wasiat dari almarhum suaminya untuk memberi uang Rp. 50 juta per bulan? “Kalau DPRD lanjut, kamu langsung yang bayar pajak ke Dispenda dan kasih Rp. 50 juta untuk pajak pusat. Kalau sisanya, biar sudah,” kata Hj. Kartini menjelaskan amanat sang suami.
Saksi mengaku tidak ada tanda terima dari pemberian Rp. 50 juta per bulan untuk terdakwa, termasuk tidak mengetahui apabila kontrak sewa gedung seperti ini harus melalui proses pelelangan.
Namun, soal dokumen kontrak sewa gedung DPRD Teluk Bintuni, Hj. Kartini mengatakan ada di rumah, sehingga majelis hakim meminta saksi membawa dokumen kontrak dalam sidang, Senin, 25 November 2024 untuk dicocokkan dengan bukti yang dimiliki JPU. [TIM2-R1]