Para saksi meninggalkan PN Manokwari lantaran ketidakjelasan proses sidang perkara tipikor pengadaan mobil damkar pada BPBD Kabupaten Teluk Bintuni, Selasa (22/10/2024) malam. Foto: TIM2
Manokwari – Para saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Teluk Bintuni, Dicky M. Saputra, SH, dan penasehat hukum terdakwa FNE, Paulus S.R. Renyaan, SH, terlihat lesuh dan kecewa dengan ketidakjelasan proses persidangan, Selasa, 22 Oktober 2024 sore.
Tidak diketahui pasti alasan penundaan sidang dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pengadaan kendaraan pemadam kebakaran (damkar) pada BPBD Kabupaten Teluk Bintuni Tahun Anggaran 2020.
Padahal, dari pantauan wartawan, para pihak sudah hadir sejak pagi hingga sore hari untuk mengikuti sidang yang akan dipimpin majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari yang diketuai, Berlinda U. Mayor, SH, LLM didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH.
Sedianya, dalam persidangan tersebut, JPU akan menghadirkan para saksi untuk didengar keterangannya. Namun ketua majelis sudah meninggalkan PN Manokwari pada sore harinya, sehingga JPU meminta para saksi untuk pulang.
Kondisi ini berbeda dengan sidang perkara tipikor sewa gedung DPRD Kabupaten Teluk Bintuni. Kala itu, majelis hakim tidak lengkap, dimana seorang hakim anggota berhalangan hadir, tetapi ‘dilarang’ untuk bersidang apabila majelis hakim tidak lengkap.
Kali ini justru terbalik, dimana ketika majelis hakim terlihat lengkap, tetapi proses persidangan tidak dilaksanakan. Padahal, para saksi yang dihadirkan jauh-jauh dari Teluk Bintuni sudah datang ke PN Manokwari.
Seperti diketahui, terdakwa FNE adalah orang yang melaksanakan pekerjaan pengadaan kendaraan damkar pada BPBD Kabupaten Teluk Bintuni Tahun Anggaran 2020 dengan nilai kontrak Rp. 1.985.000.000.
Dalam dakwaan JPU disebutkan, pada Tahun Anggaran 2020, BPBD memiliki pagu anggaran belanja modal peralatan dan mesin atau pengadaan kendaraan bermotor khusus mobil damkar sebesar Rp. 2 miliar berdasarkan DPA SKPD Kabupaten Teluk Bintuni.
Selanjutnya, terdakwa bertemu almarhum MN selaku Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Teluk Bintuni yang juga kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk membicarakan pengadaan kendaraan damkar. Saat itu MN meminta terdakwa menyiapkan profil perusahaan atau rekanan.
Lalu, terdakwa menghubungi saksi AI selaku Wakil Direktur CV Cahaya Hogut Mandiri untuk meminjam profil perusahaan, kemudian profil perusahaan diserahkan ke MN.
Setelah terdakwa menyerahkan profil perusahaan kepada saksi almarhum, MN kemudian membuat dan merekayasa dokumen pengadaan pekerjaan pengadaan kendaraan damkar seolah-olah melalui mekanisme lelang atau tender.
MN memanggil saksi CB selaku Kasubbid Kedaruratan Bidang Logistik BPBD ke rumah MN untuk menandatangani dokumen pengadaan kendaraan damkar selaku ketua panitia lelang tanpa ditunjuk melalui surat keputusan (SK) dari MN selaku KPA pada BPBD.
Setelah dokumen pengadaan ditandatangani panitia pelelangan, kemudian MN membuat dokumen kontrak yang diwakili PPK, MN dan SI selaku Direktur CV Cahaya Hogut Mandiri senilai Rp. 1.985.000.000, dengan jangka waktu masa kontrak 90 hari kalender mulai 29 April 2020 sampai 27 Juli 2020.
Singkatnya, pada 14 September 2020, Bupati Teluk Bintuni melalui BPBD menyerahkan 1 unit mobil damkar kepada Satpol PP Kabupaten Teluk Bintuni. Ternyata, dokumen bukti kepemilikan kendaraan bermotor berupa STNK dan BPKB baru dilakukan pengurusan oleh terdakwa pada 23 Mei 2022 melalui saksi S dengan mengirimkan uang sebesar Rp. 69.500.000.
Dari uraian proses pengadaan atau pelelangan, proses pelaksanaan dan pembayaran atau pencairan tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
Menurut JPU, rangkaian perbuatan terdakwa FNE telah menguntungkan diri sendiri dan orang lain dan telah merugikan keuangan negara sekira Rp. 1.016.859.577 atau setidak-tidaknya sekira jumlah tersebut.
Hal ini berdasarkan laporan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara BPKP Perwakilan Provinsi Papua Barat pada 19 Juli 2024 yang ditandatangani Lepot Setyanto selaku Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Papua Barat.
Untuk itu, FNE didakwa JPU melanggar dakwaan primair Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan atau dakwaan subsider melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [TIM2-R1]