Persidangan Tipikor Sewa Gedung DPRD Teluk Bintuni Diwarnai ‘Insiden Internal’

Persidangan perkara dugaan tipikor sewa gedung DPRD Teluk Bintuni sementara pada penginapan Kartini, di PN Manokwari, Jumat (27/9/2024). Foto: TIM2

Persidangan perkara dugaan tipikor sewa gedung DPRD Teluk Bintuni sementara pada penginapan Kartini, di PN Manokwari, Jumat (27/9/2024). Foto: TIM2

Manokwari – JPU Kejari Teluk Bintuni, Dicky M. Saputra, SH menghadirkan 4 saksi dari DPRD Kabupaten Teluk Bintuni dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) belanja sewa gedung DPRD Kabupaten Teluk Bintuni sementara di penginapan Kartini periode Oktober 2020 – Maret 2023, Jumat, 27 September 2024.

Sidang beragenda pemeriksaan saksi, dipimpin ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota, Hermawanto, SH, tanpa kehadiran hakim anggota, Pitayartanto, SH yang dikabarkan sedang berhalangan atau sakit.

Meski tanpa kehadiran satu hakim anggota, sidang dilanjutkan setelah JPU, penasehat hukum, Pieter Wellikin, SH dan Simaron Auparay, SH, kedua terdakwa, Mesak Passalli dan Thomas Sanggemi, dan para saksi sepakat melanjutkan persidangan.

Keempat saksi yang dihadirkan JPU, yakni Simon Dowansiba (Ketua DPRD Teluk Bintuni), Sujono (Badan Anggaran DPRD Teluk Bintuni), Markus Maboro, dan R. Tatua sebagai anggota DPRD Teluk Bintuni periode 2019-2024.

Dalam keterangannya, Simon Dowansiba mengaku tidak tahu sumber anggaran sewa gedung DPRD Teluk Bintuni, apakah dari DAU (Dana Alokasi Umum) atau DAK (Dana Alokasi Khusus).

Mendengarkan keterangan saksi, hakim anggota, Hermawanto tampak keheranan. Sebab, untuk urusan sewa gedung kantor sendiri saja, saksi tidak memperhatikan, bagaimana saksi mau memperhatikan masyarakat di pulau-pulau yang jauh.

“Terus kami mau putuskan bagaimana kalau anggarannya saja tidak jelas,” timpal Hermawanto.

Dijelaskan Simon Dowansiba, yang mengetahui anggaran sewa gedung DPRD adalah Sekwan (terdakwa Mesak Passalli, red), sedangkan dewan belum mengetahui tentang sewa gedung tersebut. “Itu yang tahu Sekwan, sedangkan dewan belum tahu,” kata Simon Dowansiba.

Untuk mendudukkan subjek dari perkara ini, ketua majelis hakim memperjelas, apakah yang disewa sebagai gedung berupa ruko atau penginapan. “Itu penginapan, bukan ruko,” tegas saksi.

Selanjutnya, JPU menjelaskan bahwa penginapan Kartini itu terdiri juga dari ruko-ruko yang dijadikan penginapan. Lalu, JPU menanyakan kepada saksi, apakah biaya sewa gedung sebesar Rp. 300 juta per bulan diketahui sebelum atau sesudah? Saksi Simon Dowansiba mengatakan sebelumnya penyewaan.

Menurut saksi, pimpinan dan anggota DPRD Teluk Bintuni menyetujui penyewaan gedung dalam rapat kedewanan.

Dicecar apakah ketiga saksi ini juga ikut menyetujui terkait penyewaan gedung DPRD di penginapan Kartini? Ketua DPRD kala itu langsung terdiam, lalu menjawab tidak menyetujui. “Saya tidak tahu juga, lupa jadi,” kata saksi yang terlihat gugup selama proses persidangan.

Dengan keterangan saksi yang terkesan tidak konsisten dan berbelit-belit, JPU mengingat saksi tentang ancaman pidana jika saksi memberikan keterangan yang tidak benar dan nasib dari kedua terdakwa.

Dicky Saputra pun menanyakan berapa lama dilakukan penyewaan gedung, apakah antara Oktober 2020 sampai Maret 2023 atau 30 bulan? Namun, jelas Ketua DPRD, penyewaan gedung DPRD dari 2022 sampai 2023, bukan 2020 sampai 2023.

Keterangannya justru berbanding terbalik dengan keterangan ketiga saksi lainnya. Sebab, ketiga saksi yang dihadirkan bersamaan justru menjawab penyewaan dilakukan sejak Oktober 2020 sampai Maret 2023 atau 30 bulan.

“Sekarang silakan JPU dan PH menilai sendiri ya,” kata Helmin Somalay terkait perbedaan keterangan antara ketiga saksi dan Ketua DPRD.

Keempat saksi mengaku hanya mengetahui jika penginapan Kartini yang disewa sebagai gedung DPRD sementara, karena gedung DPRD sedang direhab akibat plafonnya runtuh.

Sedangkan pemilik penginapan, Kartini, keempat saksi mengaku tidak mengenalnya, apalagi pernah bertemu langsung dengan Kartini sebagai pemilik penginapan.

Hermawanto pun mencecar saksi Sujono sebagai Banggar DPRD Teluk Bintuni untuk menjelaskan mekanisme sebelum dilakukan penyewaan, apakah harus ditenderkan atau tidak? “Seharusnya dilelang,” jawab Sujono dan diamini saksi R. Tatua.

Sedangkan Markus Maboro dan Ketua DPRD mengaku tidak mengetahui mekanisme penyewaan gedung harus ditenderkan atau dilelang terlebih dahulu.

“Masa dewan tidak tahu mekanismenya? Kan sudah ikut bimbingan teknis (bimtek) setelah dilantik dan ikut kursus Lemhanas, kok tidak tahu,” tanya Hermawanto.

Sebelum mengakhiri pertanyaan disertai jawaban saksi yang terkesan berbelit-belit, JPU senada dengan ketua majelis hakim, bermohon agar saksi yang dihadirkan ini banyak membaca, peduli, dan memperhatikan.

Penasehat hukum kedua terdakwa, Pieter Wellikin menanyakan, apakah ada pembahasan anggaran sewa gedung di antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Teluk Bintuni?

Pertanyaan ini pun tidak bisa dijawab saksi secara jelas dan tegas, bahkan terkesan tidak bisa menjawab.

Namun, saksi Simon Dowansiba membantah pernah bertemu langsung dengan Kartini sebagai pemilik penginapan Kartini, termasuk tidak melihat langsung penyerahan uang sewa, tetapi hanya mendengarnya dari salah satu terdakwa.

Insiden Internal PN Manokwari

Ketika proses persidangan memasuki masa injury time, sempat terjadi insiden internal di ruang persidangan. Insiden itu diduga terkait ketidaklengkapan majelis hakim dan pintu ruang sidang yang tertutup.

Awalnya, seorang pegawai perempuan masuk ke ruang sidang dan meminta izin mengambil foto. Namun ketua majelis hakim menolak, sehingga pegawai perempuan itu pun keluar.

Tidak lama berselang, ada yang mendorong pintu ruang sidang, sehingga terbuka lebar, lalu mengambil foto proses persidangan yang diduga berlangsung tertutup dan ketidaklengkapan majelis hakim.

Tidak lama berselang, ada lagi seorang pegawai laki-laki yang mengambil foto proses persidangan. Melihat hal tersebut, JPU sempat mengajukan keberatan terhadap majelis hakim, karena ada yang mengambil foto dari kursi pengunjung.

“Izin majelis, ada yang mengambil gambar,” kata JPU melayangkan keberatan. “Itu pegawai kami,” timpal Hermawanto menanggapi keberatan Dicky Saputra.

Selanjutnya, majelis hakim menutup persidangan dan akan dilanjutkan pekan depan masih dengan agenda pemeriksaan saksi dari penuntut umum.

Dari pantauan di ruang sidang, tampak hadir pengacara dari perkara tipikor lain, keluarga terdakwa, dan pegawai Kejari Teluk Bintuni.

Dalam perkara ini, kedua terdakwa didakwakan dengan dakwaan primer melanggar Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

Dakwaan subsider, diduga melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP. [TIM2-R1]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *