Manokwari – Setelah proses persidangan yang panjang, akhirnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat di Manokwari memutuskan perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pengadaan perahu fiber kasko 40 PK dan mesin tempel 50 PK di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Fakfak, Rabu (15/5/2024).
Putusan terhadap terdakwa, Erwin C.D. Sahetapy dan Muhamad Nur Namudat dibacakan majelis hakim yang diketuai, Berlinda U. Mayor, SH, LLM didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH, dihadiri kedua terdakwa, penasehat hukumnya, Jahot Lumban Gaol, SH, MH dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Fakfak secara online.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan kedua terdakwa, Erwin C.D. Sahetapy dan Muhamad Nur Namudat, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama primair, penuntut umum.
“Membebaskan terdakwa, Erwin Sahetapy dan Muhamad Nur Namudat oleh karena itu dari dakwaan pertama primair,” kata ketua majelis hakim.
Lanjut Berlinda Mayor, menyatakan terdakwa, Erwin Sahetapy dan Muhamad Nur Namudat terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara ‘bersama-sama’ sebagaimana dakwaan pertama subsider, penuntut umum,” ungkapnya.
Ia mengatakan, menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Erwin Sahetapy dan Muhamad Nur Namudat, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 3 bulan (15 bulan), denda denda Rp. 100 juta.
“Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” ungkap Berlinda Mayor.
Selanjutnya, untuk barang bukti berupa uang tunai Rp. 120 juta dan Rp. 50 juta dirampas untuk negara dari kerugian keuangan negara sebesar Rp. 169.823.791, kemudian terdapat kelebihan uang pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp. 176.209, sehingga kelebihan uang tersebut dikembalikan kepada terdakwa, Muhamad Nur Namudat.
Dengan putusan majelis hakim ini, kedua terdakwa, penasehat hukumnya, maupun JPU Kejari Fakfak menyatakan menerima putusan ini. Putusan ini sama dengan tuntutan JPU yang menuntut kedua terdakwa dengan pidana penjara 1 tahun dan 3 bulan.
Usai persidangan, penasehat hukum kedua terdakwa, Jahot Lumban Gaol menegaskan, apa pun yang diputuskan majelis hakim, pihaknya harus menghormatinya.
“Memang putusannya sama dengan tuntutan JPU. Kemudian, kedua terdakwa menerima putusan itu,” ucap Lumban Gaol yang dikonfirmasi wartawan usai pembacaan putusan, Rabu, 15 Mei 2024.
Selain menghormati putusan majelis hakim, kata dia, pihaknya memutuskan tidak mengajukan upaya hukum banding.
Disinggung tentang adanya orang lain yang sesungguhnya menikmati uang dalam perkara korupsi ini, yakni oknum anggota DPRD Kabupaten Fakfak berinisial AGIB?
Lumban Gaol menerangkan, seperti tertuang dalam pledoi di persidangan dan fakta-fakta yang terungkap maupun bukti yang disampaikan JPU, sudah terpenuhi unsur bahwa AGIB harus dan bisa menjadi tersangka dugaan tipikor dalam perkara ini.
“Dia yang menikmati. Sudah jelas-jelas dan di persidangan juga dia sudah jelas katakan, uang Rp. 50 juta dia nikmati sendiri, katanya atas persetujuan bupati. Saat itu, disampaikan di ruang sidang,” beber Lumban Gaol.
Ditanya apakah dalam perkara ini ada unsur politis untuk menghukum kedua kliennya? Lumban Gaol menjelaskan, setelah melakukan analisa, kliennya Erwin Sahetapy sempat dinonaktifkan sebagai Kepala DKP Kabupaten Fakfak.
“Kemudian diajukan gugatan ke PTUN. Apa alasan menonjobkan klien saya, tapi kemudian setelah klien saya mengajukan gugatan dan proses berjalan, jabatannya dikembalikan. Itu artinya ada indikasi politik,” jelas Lumban Gaol.
Diakuinya bahwa perkara ini tidak terlepas dari adanya campur tangan oknum DPRD Kabupaten Fakfak dan pengambil kebijakan di Kabupaten Fakfak.
“Sesuai fakta persidangan, saksi mengatakan bahwa mereka bekerja di dalam dinas itu selalu ada tekanan dari atas, apakah itu dari pihak pimpinan maupun oknum legislatif. Itu terungkap di persidangan,” tambah Lumban Gaol.
Ditanya apakah perkara ini bisa diistilahkan perkara dugaan tipikor yang menguntungkan keuangan negara, bukan kerugian keuangan negara, karena pengembalian kerugian keuangan negara melebihi kerugian negara? Lumban Gaol enggan menanggapi. “Saya no comment kalau yang itu,” kata dia.
Pledoi Penasehat Hukum
Sedangkan dalam pledoinya, Lumban Gaol membeberkan bahwa mungkin dalam sejarah pemberantasan tipikor di Indonesia, perkara ini yang tidak lazim, karena secara nyata, JPU melakukan perjalanan dinas untuk persidangan ini sudah jauh melebihi uang yang disebut JPU kerugian keuangan negara, dalam perkara ini.
Padahal, sudah ada MoU antara aparat hukum pusat dan APIP atau Inspektorat yang mengatakan sebelum dilakukan penyelidikan dan penyidikan agar terlebih dahulu diselesaikan oleh Inspektorat. Namun, hal tersebut tidak dilaksanakan JPU, sehingga terkesan kasus ini dipaksakan untuk dibawa ke persidangan.
Diuraikannya dalam kesimpulan, pokok persoalan dalam perkara ini adalah pengadaan 1 unit perahu fiber kasko 40 PK dan mesin tempel 50 PK pada APBD Kabupaten Fakfak.
Menurut JPU, lanjut Lumban Gaol, terdapat penyimpangan dana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara pada pengadaan 1 unit perahu fiber kasko 40 PK dan mesin tempel 50 PK pada APBD Kabupaten Fakfak Tahun 2022, yakni Rp. 169.823.791.
Kapasitas dan kedudukan terdakwa, Erwin Sahetapy dalam pengadaan ini adalah kuasa pengguna anggaran (KPA) dan Penjabat Pembuat Komitmen (PPK).
Dana untuk pengadaan 1 unit perahu fiber kasko 40 PK dan mesin tempel 50 PK pada DKP Kabupaten Fakfak sudah dicairkan 100 persen, tetapi barangnya belum ada. Namun, dana tersebut tidak digunakan terdakwa untuk kepentingan atau untuk maksud menguntungkan diri terdakwa sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, tetapi dana sebesar Rp. 120 juta dititipkan ke pihak toko, dengan harapan pihak toko bisa membantu pengadaan mesin tersebut.
Selanjutnya, uang tersebut telah dikembalikan ke pihak perusahaan, yakni CV Mahi Were Phona dengan direktur, Muhamad Nur Namudat, sebagai penyedia jasa. Selanjutnya, telah diserahkan ke pihak Kejari Fakfak.
Selanjutnya, oleh AGIB telah mengembalikan uang Rp. 50 juta, dengan demikian, tidak ada lagi kerugian keuangan negara.
Menurutnya, terdakwa bukan sebagai koruptor uang negara, tetapi terdakwa adalah korban kebijakan politik, sehingga terkesan adanya penyalahgunaan hukum untuk menjerat terdakwa dalam kasus ini.
Diutarakan Lumban Gaol, berdasarkan fakta persidangan, yakni keterangan saksi dan alat bukti yang ditunjukkan JPU, telah cukup bukti untuk menetapkan saksi AGIB sebagai tersangka dalam perkara a quo.
Sebab, dialah yang menikmati uang dari hasil pekerjaan pengadaan 1 unit perahu fiber kasko 40 PK dan mesin 50 PK pada DKP Kabupaten Fakfak Tahun Anggaran 2022.
“Berdasarkan bukti-bukti yang ditunjukkan dalam persidangan dan berdasarkan Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kami mohon majelis hakim yang mulia agar menetapkan saudara AGIB sebagai tersangka dalam perkara a quo,” pinta Lumban Gaol.
Di samping itu, sambung dia, keterangan ahli perlu ditegaskan bahwa akuntan publik, tidak memiliki kewenangan konstitusional yang bersumber dari UUD 1945, karena tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan perhitungan mengenai ada atau tidak adanya kerugian keuangan negara dalam perkara a quo.
“Maka tindakan ahli Dr. Hernold F. Makawimbang yang mengambil alih kewenangan konstitusional BPK-RI adalah tindakan yang inkonstitusional dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 23E Ayat 1 UUD 1945,” tandas Lumban Gaol. [HEN/FSM-R1]