Manokwari – Mantan Sekretaris DPR (Sekwan) Provinsi Papua Barat berinisial FKM, dituntut jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat, dengan tuntutan pidana selama 8 tahun dan 6 bulan (8,5 tahun) penjara.
Tuntutan dibacakan JPU dalam sidang dengan agenda pembacaan tuntutan, yang dipimpin ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Helmin Somalay, SH, MH didampingi 2 hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH, Rabu, 26 Juni 2024.
Di dalam tuntutan, JPU meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan:
Satu, menyatakan terdakwa, FKM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana telah disebutkan dalam surat dakwaan primair, Pasal 2 Ayat 1 junto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHPidana.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, FKM oleh karena itu dengan pidana penjara selama delapan tahun dan enam bulan (8,5 tahun), dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang telah dijalani terdakwa dengan perintah terdakwa tetap di dalam tahanan,” pinta JPU.
Ketiga, memerintah terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp. 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Keempat, memerintahkan agar terdakwa, FKM membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.954.991.756 (satu miliar sembilan ratus lima empat juta sembilan ratus sembilan puluh satu ribu tujuh ratus lima enam Rupiah).
Lanjut JPU, jika terdakwa, FKM tidak membayar uang pengganti paling lama dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
JPU menambahkan, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun.
Kemudian, menyatakan barang bukti nomor 1-54 dipergunakan dalam perkara atas terdakwa berinisial ARL.
Kelima, uang sejumlah Rp. 44 juta sebagai barang bukti, dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai pengembalian kerugian negara. Keenam, membebankan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000.
Terdakwa ARL
Sementara untuk terdakwa, ARL, selaku komanditer CV Yansa dan CV Komen Bangun Papua, JPU meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan:
Satu, menyatakan terdakwa, ARL terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana telah disebutkan dalam dakwaan primair, Pasal 2 Ayat 1 junto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHPidana.
“Menjatuhkan terhadap terdakwa, ARL oleh karena itu dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan enam bulan (7,5 tahun), dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang telah dijalani oleh terdakwa dan perintah agar terdakwa tetap dalam tahanan,” tegas JPU.
Ketiga, membebankan terdakwa, ARL membayar denda sebesar Rp. 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Empat, memerintahkan agar terdakwa, ARL membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.713.875.244 (satu miliar tujuh ratus tiga belas juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu dua ratus empat puluh empat Rupiah).
Jika terdakwa, ARL tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut.
Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun.
JPU juga mengatakan, barang bukti berupa surat dan dokumen nomor 1-54, tetap terlampir dalam berkas perkara dan membebankan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000.
Setelah mendengar tuntutan, kedua terdakwa dipersilakan ketua majelis hakim berkonsultasi dengan tim penasehat hukum yang diketuai, Imanuel Barru, SH. Imanuel Barru mengatakan, pihaknya dan terdakwa akan mengajukan pembelaan atau pledoi.
“Mudah-mudahan kami punya waktu yang berimbang dengan penuntut umum yang beberapa kali juga ditunda,” tandas Imanuel Barru.
Meski majelis hakim telah memutuskan jadwal untuk terdakwa dan penasehat hukum menyampaikan pembelaan, tetapi Imanuel Barru meminta kebijaksanaan majelis hakim.
Dikatakan Imanuel Barru, pihaknya sangat memahami tentang masa penahanan. Meski tidak meminta perlakuan yang sama, cuma penuntut umum kan mempunyai waktu yang cukup.
“Yang lain kan tadi tidak baca jadi, lumayan, kita akan baca ulang. Kalau tadi dibacakan, paling kami sudah dengar. Apalagi tuntutan sebagus ini jadi, biar ada waktu saya perlu baca setebal ini lagi. Mudah-mudahan bisa lah,” tandas Imanuel Barru.
Akhirnya, ketua majelis hakim menutup persidangan dan sebelumnya, meminta kedua terdakwa agar tetap menjaga kesehatannya.
Dalam dakwaan JPU, Rabu, 13 Maret 2024, disebutkan bahwa perbuatan terdakwa, FKM selaku Sekretaris DPR Papua Barat mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp. 3,112 miliar lebih sebagaimana hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara atas dugaan tipikor pekerjaan pemeliharaan halaman kantor, belanja makan dan minum tamu pimpinan, pembersihan lahan kantor, dan belanja bahan pembersih kantor pada Sekretariat DPR Papua Barat.
JPU membeberkan, terdakwa, FKM memecah paket pekerjaan untuk menghindari proses tender atau lelang serta meminjam bendera CV Yansa, CV Komen Bangun Papua, CV Chairil Jure, CV Fesa Mandiri, dan CV Feria Abadi untuk melaksanakan paket pekerjaan.
Terdakwa, FKM juga memerintahkan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) untuk menandatangani berita acara pemeriksaan barang tanpa melakukan pemeriksaan atas hasil pekerjaan.
Lalu, terdakwa, FKM memerintahkan pembantu bendahara pengeluaran untuk melakukan proses pembayaran atas seluruh surat perintah kerja (SPK).
Padahal, lanjut JPU, belum ada pekerjaan yang dilaksanakan saat pembayaran dengan progres nol persen dan semua pekerjaan tidak dilaksanakan pada 2021.
Di samping itu, terdakwa, FKM meminta penyedia mencairkan dana pekerjaan yang masuk ke rekening perusahaan penyedia untuk diserahkan kepada terdakwa. Selanjutnya, terdakwa memberi fee peminjaman bendera perusahaan ke penyedia. [TIM2-R1]