Hakim Tipikor Ngaku Ingin Punya Saham BRI, Tapi Belum Ada Uang

Persidangan perkara dugaan tipikor pada KCP BRI Manokwari Kota di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Selasa, 27 Mei 2025. Foto: TIM2 Persidangan perkara dugaan tipikor pada KCP BRI Manokwari Kota di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Selasa, 27 Mei 2025. Foto: TIM2

Rustam: Ada Tebang Pilih-lah Dalam Perkara Ini

Manokwari – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan mantan Kepala Cabang (Kacab) PT BRI (Persero) Manokwari, Ermana S. Irawan sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) di Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN), Selasa, 27 Mei 2025.

Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota Pitayartanto, SH dan Hermawanto, dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan JPU.

Kehadiran saksi untuk memberikan keterangan terkait pengajuan Kredit Modal Kerja, Kredit Modal Kerja (KMK) Tangguh dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk cq BRI Kantor Cabang Pembantu (KCP) Manokwari Kota.

Sebab, dalam pengajuan hingga pencairan kredit, menurut JPU dalam dakwaannya terhadap para terdakwa, Mardiyanto Suryo, Irwan Wijaya, Daniel Mohse Y, dan Muhammad Zamzani, mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp. 9.985.597.942.

Rinciannya, realisasi plafon kredit yang telah dibayarkan PT BRI (Persero) Tbk cq Kantor Cabang Pembantu Manokwari Kota terhadap 11 debitur sebesar Rp. 10.700.000.000 dan jumlah angsuran pokok yang telah dibayarkan oleh 11 debitur sebesar Rp. 714.402.058, sehingga sisa yang dianggap menjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp. 9.985.597.942.

Selaku Kacab BRI Manokwari periode 2021-2022, saksi mengaku tidak melihat adanya kepentingan antara terdakwa, Zamzani dan Agus Subandi dengan para debitur, sekaligus seingat saksi, pengajuan kredit tersebut di-back up asuransi.

Menurut Ermana, dirinya kaget mendapat kabar bahwa pengajuan kredit ada masalah setelah berpindah tugas ke Jayapura. “Saya tahu tidak lancarnya setelah di Jayapura,” sebut Ermana.

Ditanya apakah selama ini, proses kredit macet dan kemudian bermasalah, bisa dipidana? “Setahu saya baru kali ini. Kalau ada yang tidak mampu atau kreditnya macet, biasanya dilakukan lelang (terhadap agunan),” jelas Ermana.

Ditambahkannya, jika debitur atau nasabah mau menyelesaikan tunggakan kreditnya, maka secara pribadi, dirinya menilai ada itikad baik dari debitur atau nasabah. Terkait asuransi terhadap kredit macet, kata Ermana, sudah ada yang diajukan klaim ke asuransi, tetapi setahu saksi, pengajuan tersebut ditolak.

Ia tidak membantah ketika dicecar penasehat hukum terdakwa, Mardiyanto Suryo, Rustam, SH, apakah selaku pimpinan cabang masih memiliki kewenangan mengontrol kinerja pimpinan cabang pembantu. “Masih,” katanya.

Diutarakan Ermana, dirinya mendengar ada masalah setelah pindah tugas ke Jayapura, lalu saksi menanyakan perihal permasalahan ini kepada terdakwa, Zamzani melalui WhatsApp (Wa).

Terkait pengajuan kredit, jelas Ermana, untuk pengajuan kredit di bawah Rp. 1 miliar, KCP bisa memutuskan, sedangkan untuk nilai kredit, tidak bisa di bawah nilai agunan.

Disinggung hakim anggota, Hermawanto, kewenangan siapa untuk memutuskan menolak atau menerima pengajuan kredit di atas Rp. 1 miliar? Menurut Ermana, verifikasi dan analisa pengajuan kredit dilakukan pemrakarsa, dalam hal ini KCP, tetapi diputuskan, diterima atau ditolak oleh kepala cabang (kacab).

Hermawanto pun mencecar saksi, apa usaha dari debitur atau nasabah atas nama Sulaeman. Menurut saksi, Sulaeman mempunyai usaha kayu dan rumah sewa, sedangkan persetujuan kredit diterima lantaran mempertimbangkan cashflow berdasarkan hasil wawancara.

Namun Ermana tampak kebingungan ketika dicecar apakah secara materil, saksi melihat neraca keuangan, laba-rugi, termasuk omset dari debitur atas nama Sulaeman.

“Apa yang paling meyakinkan saudara secara materil memutuskan agar Sulaeman, seorang tukang kayu bisa diberikan kredit sebesar Rp. 2 miliar? Jangan sampai saya salah memutuskan, sehingga harus meyakinkan diri saya,” ujar Hermawanto kepada Ermana.

“Sulaeman itu nasabah lama BRI,” jawab saksi sembari menambahkan untuk jaminan dari debitur berdasarkan keterangan dari notaris, nilai agunan wajarnya segitu.

Hermawanto terlihat geram dengan keterangan mantan Kacab BRI Manokwari yang terkesan saling melempar tanggung jawab. Padahal, Ermana selaku Kacab BRI Manokwari yang memiliki kewenangan memutus menerima atau menolak pengajuan kredit bernilai di atas Rp. 1 miliar.

Saksi tampak kebingungan lagi ketika dicecar soal pengajuan kredit oleh debitur atas nama Hamka Syamsudin, dengan agunan tanah ukuran 20×20 meter. “Layak nggak dikasih Rp. 1,8 miliar? Saksi cek ngak cashflow nasabah atau nasabah lama BRI juga,” tanya Hermawanto.

Di sisi lain, Ermana mengakui bahwa Mardiyanto Suryo adalah mantan pegawai BRI, tetapi yang bersangkutan sudah resign ketika saksi menjadi Kacab BRI Manokwari periode 2021-2022.

Hermawanto terlihat heran dengan pengajuan dan pencairan kredit terhadap 2 nasabah atau debitur atas nama Sulaeman dan Hamka Syamsudin, dengan total Rp. 3,8 miliar.

“Gaji kami juga tidak bisa terkumpul sebanyak itu, dalam setahun saja hanya sekitar Rp. 200 juta,” ungkap Hermawanto.

Pada kesempatan itu, Hermawanto pun sempat menyinggung harga saham BRI sebagai BUMN yang terus mengalami menurun. “Saya juga ingin punya sahamnya (saham BRI), tapi belum ada uangnya,” ujar Hermawanto.

Usai persidangan, penasehat hukum terdakwa, Mardiyanto Suryo, Rustam, SH menilai saksi kedua, Agus Subandi selaku mantan Kepala Cabang Pembantu (KCP) Manokwari Kota yang dihadirkan JPU, tidak jujur dalam memberikan keterangan.

“Dia tidak jujur memberikan keterangan, karena faktanya di situ, di BAP dia menjawab kredit bermasalah merupakan tanggung jawab dia. Nah, sekarang ketika saya tanya di sidang ini, bahwa kredit macet itu ada bagiannya lagi. Loh ini bagaimana, padahal Anda sebagai pemutus dalam masalah ini,” ujar Rustam yang ditemui wartawan di PN Manokwari.

Diakuinya, saksi Agus Subandi adalah pemutus dalam pengajuan kredit di bawah Rp. 1 miliar, untuk sekitar 7 debitur atau nasabah. Dikatakan Rustam, seharusnya persyaratan pengajuan kredit sesuai aturan di BRI dan ketika ada yang tidak sesuai, maka pengajuannya pasti ditolak.

“Nah, ini di BAP, bapak bilang tidak ada KTP, tidak ada izin usaha, apakah ini bisa? Sudah, dia tidak bisa bicara lagi. Pada intinya, ini terkesan baku lempar,” tukas Rustam.

Dirinya juga mempertanyakan alasan sejumlah pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab, tetapi tidak ditersangkakan, sehingga memunculkan kesan adanya ‘tebang pilih’.

Pihak yang dimaksud diantaranya Ari selaku RM, sama seperti terdakwa, Zamzani, yang menjadi pemrakarsa terhadap 7 debitur di bawah Rp. 1 miliar. Selain itu, pemutus yang menerima pengajuan kredit dari para debitur atau nasabah, yakni Kepala KCP Manokwari Kota untuk kredit di bawah Rp. 1 miliar dan Kepala Cabang BRI untuk pengajuan kredit di atas Rp. 1 miliar.

“Kok hanya Zamzani yang di sini, Ari-nya mana? Padahal mereka ini adalah pemrakarsa dalam pengajuan kredit tujuh debitur. Jadi, pemutus mendengar masukkan dari pemrakarsa, RM ini. Kok RM hanya satu yang di sini, sedangkan dalam pelaksanaan, Ari juga di situ. Ari ini ke mana, kok tidak ada, makanya saya tanya, Ari ke mana? Ari ini tak ditersangkakan, hanya menjadi saksi,” urai Rustam.

Ia menegaskan, tugas dari terdakwa, Zamzani, sama seperti saksi atas nama Ari sebagai RM. “Ada tebang pilih-lah dalam perkara ini. Pemutus juga terlibat dalam perkara ini, karena sebagai pengambil keputusan. Ketika terjadi masalah seperti ini, kok pemutus tidak ditarik dalam perkara ini. Ada apa sebenarnya,” kata Rustam dengan nada kesal.

Dirinya merincikan, mereka yang harus ikut bertanggung jawab dalam perkara dugaan tipikor ini, yaitu: Ari selaku RM, sama seperti terdakwa, Zamzani, Agus Subandi selaku Kepala KCP BRI Manokwari Kota, dan Ermana Irawan selaku Kepala Cabang BRI Manokwari sebagai pemutus pengajuan kredit dari para debitur. [TIM2-R1]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *