Dugaan Tipikor Dana Desa Kampung Kasih, Agustina Antoh hanya Dikambinghitamkan?

Ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Manokwari. Foto: DOK

Manokwari – Agustina Antoh, terdakwa perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) Dana Desa di Kampung Kasih, Distrik Mariat, Kabupaten Sorong mengungkapkan sejumlah fakta, menanggapi pertanyaan majelis hakim, jaksa penuntut umum (JPU), dan penasehat hukumnya secara lugas dan tegas tanpa berbelit-belit.

Terdakwa kembali dihadirkan JPU Kejari Sorong, Andi A.R. Jakir, SH dan Kevin F. Hutahaean, SH dalam sidang beragenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Rabu, 5 Juni 2024.

Tidak seperti para terdakwa dugaan tipikor lainnya, Agustina Antoh justru menanggapi semua pertanyaan tanpa berusaha berkelit atau menutup-nutupi apapun dalam perkara yang diduga kuat ‘dilaporkan’ kakaknya sendiri berinisial PA ke Polres Sorong di Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya (PBD) tersebut.

Ironisnya, terdakwa ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan penyidik Polres Sorong setelah dirinya kembali dipercaya masyarakat untuk memimpin Kampung Kasih. Dalam perhelatan pesta demokrasi, pemilihan kepala kampung, Agustina Antoh berhasil mengalahkan istri sang kakak yang ikut mencalonkan diri menjadi Kepala Kampung Kasih.

Menurut terdakwa, proses pencairan Dana Desa dilakukan di Bank Mandiri. Sebelum pencairan, sudah tentu ada pengusulan kegiatan di Kampung Kasih. Tentu, Dana Desa bisa dicairkan apabila Dana Desa pada tahun anggaran sebelumnya telah dipertanggungjawabkan.

Menurut Agustina Antoh, pencairan Dana Desa dilakukannya selaku Kepala Kampung dan bendahara, kemudian Dana Desa itu dibawa pulang ke kampung.

Lanjut dia, lantaran bendahara takut Dana Desa terpakai, karena yang bersangkutan sering mabuk, maka bendahara memintanya untuk menyimpan uang tersebut di rumahnya.

Diungkapkan Agustina Antoh, Dana Desa tersebut hanya ditaruh di dalam lemari, bukan di brankas, jawab terdakwa menanggapi apakah Dana Desa itu disimpan di brankas. Bahkan, tambah terdakwa, setelah uang dicairkan, masyarakat Kampung Kasih datang ke rumahnya untuk melihat, memegang, lalu mendokumentasikannya (difoto).

“Masyarakat harus lihat dan pegang, terus foto. Kita tidak bisa tipu-tipu,” kata terdakwa.

Terdakwa tidak membantah adanya proses pembangunan jalan rabat beton ukuran 1×100 meter di Kampung Kasih yang tertunda, karena uangnya sempat terpakai untuk beberapa hal mendesak yang dialami warga Kampung Kasih.

Hal itu diantaranya untuk membiayai transportasi pemulangan seorang gembala jemaat dari Sorong ke Maybrat dan membantu seorang janda yang meninggal di Fakfak. “Saat itu ada dua warga yang meninggal,” kata Agustina Antoh.

Dijelaskan Agustina Antoh, untuk keberangkatan dan kepulangan dari Fakfak, uang tersebut dipakai untuk membeli tiket kapal sekitar 8 atau 9 orang, termasuk terdakwa.

Diakuinya, proses pembangunan jalan rata beton sepanjang 100 meter, sudah dikerjakan 75 meter. Soal pembangunan jalan rabat beton yang tertunda, kata terdakwa, sudah dilaporkan ke Kepala Dinas Pemberdayaan Kampung.

Lanjut dia, kepala dinas menyarankan agar terdakwa mencari ‘bapak angkat’ untuk menyelesaikan pembangunan jalan rabat beton, sehingga Dana Desa di tahun berikut bisa dicairkan.

“Kalau tahun 2021, kita ambil yang lebih-lebih untuk menutupi kekurangan di tahun 2020,” kata Agustina Antoh.

Soal temuan Inspektorat, kata terdakwa, dia mengaku kecewa, karena belum pernah disampaikan ada temuan dari Inspektorat, sedangkan BPK itu pada 2023.

Ditambahkannya, dalam penyusunan APBK dan laporan pertanggungjawaban Dana Desa Kampung Kasih, selaku Kepala Kampung dan bendahara meminta 2 orang, Erick Ayal dan Fris Iek untuk membuat APBK dan pertanggungjawaban. Lalu, keduanya dibayar tidak mahal, hanya Rp. 2 juta lebih atau Rp. 3 juta.

“Tidak ada satu masyarakat pun yang bisa bilang ada temuan. Mereka justru bilang, ibu ini hanya dikambinghitamkan,” ujar Agustina Antoh.

Terdakwa juga terlihat kesal dengan sang kakak yang justru melaporkannya dalam perkara dugaan tipikor Dana Desa di Kampung Kasih ke Polres Aimas (Polres Sorong).

Kekesalannya juga terlihat ketika terdakwa harus menjalani proses persidangan di Manokwari, bukan di Pengadilan Sorong. “Saya pikirnya sidang dilakukan di Sorong supaya masyarakat bisa datang dan melihat langsung sidangnya,” kata Agustina Antoh.

Menanggapi pertanyaan penasehat hukumnya yang hadir secara Zoom soal perkara yang dijalaninya, terdakwa mengatakan, setelah ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan di Polres Sorong, kakaknya berulah lagi.

Agustina Antoh membeberkan, kakaknya meminta masyarakat untuk mengumpulkan uang sebesar Rp. 300 juta agar laporan polisinya dicabut. “Akhirnya masyarakat sudah kumpul uang Rp. 20 juta, tetapi tidak jadi diberikan,” ungkap terdakwa.

Mendengar informasi kakaknya meminta masyarakat agar mengumpulkan uang Rp. 300 juta, Agustina Antoh pun menghubungi kakaknya yang lain untuk mencegah pengumpulan dana tersebut.

“Saya telpon saya punya kakak yang satunya, tolong bilang masyarakat, jangan mau. Itu tipu-tipu,” ujar terdakwa.

Di persidangan juga, terdakwa menegaskan, jangankan Dana Desa, bantuan sekecil apapun, jika ada penyalahgunaan atau sang kakak tidak dapat, seperti BLT, sudah pasti sang kakak akan membuat keributan.

Usai mendengarkan keterangan terdakwa, majelis hakim yang dipimpin Berlinda U. Mayor, SH, LLM didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH menutup persidangan dan akan dilanjutkan dengan agenda mendengar tuntutan JPU. [HEN-R1]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *