Saksi verbalisan dari penyidik Polres Teluk Bintuni dimintai keterangan terkait perkara tipikor sewa gedung sementara DPRD di Pengadilan Tipikor Papua Barat, Selasa, 17 Desember 2024 malam. Foto: TIM2
Manokwari – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Teluk Bintuni, Theophilos K. Auparay, SH menghadirkan 2 saksi dalam sidang perkara tindak pidana korupsi (tipikor) sewa gedung sementara DPRD Kabupaten Teluk Bintuni pada Penginapan Kartini periode Oktober 2020 – Maret 2023, Selasa, 17 Desember 2024.
Kedua saksi yang dihadirkan JPU, yaitu: penyidik Polres Teluk Bintuni, Mas Yuli sebagai saksi verbalisan dan Hj. Kartini sebagai pemilik penginapan Kartini di Kabupaten Teluk Bintuni.
Sidang dengan agenda pemeriksaan kedua saksi dipimpin majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari yang diketuai, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH.
Kehadiran kedua saksi untuk memperjelas keterangan terdakwa, Thomas Sanggemi (Kabag Keuangan Sekretariat DPRD Teluk Bintuni) dan Mesak Passalli (Sekretaris DPRD Kabupaten Teluk Bintuni) yang menyebut ada dugaan ‘perubahan’ dokumen kontrak sewa gedung sementara DPRD Kabupaten Teluk Bintuni ketika perkara ini masuk tahap penyidikan di Polres Teluk Bintuni.
Sebab, terungkap ada 2 dokumen kontrak yang berbeda-beda terkait sewa gedung sementara. Kedua dokumen yang berbeda-beda, yakni ada perjanjian kontrak tanpa rincian dan dokumen perjanjian kontrak dengan rincian, di penginapan Kartini.
Menurut Thomas Sanggemi, dokumen perjanjian kontrak dengan perincian ini yang disuruh ‘dibuatkan’ lagi oleh penyidik ketika perkara masuk tahap pemeriksaan di kepolisian.
Namun dalam keterangannya, Mas Yuli membantah adanya permintaan untuk mengubah dokumen kontrak perjanjian.
Diungkapkan saksi verbalisan, dalam perkara ini tidak ada tunggakan pajak daerah, sedangkan terkait dokumen kontrak sewa gedung, Mas Yuli juga mengaku tidak pernah melakukan penyitaan dokumen kontrak, tetapi dokumen kontrak dibawa sendiri oleh terdakwa Thomas Sanggemi ke kantor.
Dicecar majelis hakim, Hermawanto, apakah yang menjadi dasar saksi atau penyidik untuk melakukan penyidikan perkara ini? Lanjut Mas Yuli, dasarnya adalah surat perintah penyidikan (sprindik) yang ditandatangani Kapolres Teluk Bintuni termasuk Perpol Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan.
Perihal penanganan perkara dugaan tipikor ini, saksi verbalisan menjelaskan, ada informasi awal tentang sewa gedung, sehingga dilakukan klarifikasi dengan meminta keterangan dan dokumen kepada saksi-saksi.
“Kami minta saksi-saksi membawa dokumen sehingga memudahkan. Lalu kami juga libatkan ahli dari BPKP. Setelah dilakukan koordinasi, ada dugaan temuan, sehingga dibuat laporan polisi,” terang Mas Yuli.
Diutarakannya, sekitar 3 kali pemeriksaan baik sebagai saksi dan terdakwa terhadap Thomas Sanggemi. Pada pemeriksaan pertama, Thomas Sanggemi tidak membawa dokumen-dokumen dan dokumen dibawa pada kesempatan pemeriksaan berikut.
Saksi verbalisan mengungkapkan, dalam proses pemeriksaan sebagai tersangka, Thomas Sanggemi didampingi penasehat hukumnya, Yan C. Warinussy, SH melalui daring atau Zoom, sedangkan terdakwa Mesak Passalli didampingi penasehat hukumnya, Yohanes Akwan, SH juga melalui daring dan pendampingan asistennya.
Ditanya apakah saksi, Mas Yuli melakukan pemeriksaan terhadap saksi, Hj. Kartini yang juga pemilik penginapan Kartini? “Saya tidak periksa,” ujar saksi verbalisan.
Namun, saksi verbalisan tidak bisa berkata-kata lebih jauh ketika ditanya perihal dokumen yang dipakai penyidik. Sebab, ternyata dokumen yang dipakai dalam penanganan perkara dugaan korupsi ini adalah dokumen-dokumen fotocopian, bukan dokumen yang asli.
“Apakah yang disita penyidik ini hanya dokumen fotocopi atau ada aslinya? Ke mana yang aslinya? Buat apa pakai dokumen fotocopian dan bisakah melakukan penyidikan dengan dokumen fotocopian? Saudara sadar dokumen yang disita ini fotocopian,” tanya hakim anggota ketika mencecar saksi verbalisan terkait dokumen-dokumen fotocopian yang dijadikan barang bukti dalam perkara ini.
“Yang kami sita cover-nya terlihat asli,” jawab Mas Yuli menanggapi pertanyaan hakim.
Saksi verbalisan membenarkan jika dokumen yang diserahkan ke BPKP Provinsi Papua Barat untuk melakukan perhitungan juga dokumen fotocopian, bukan dokumen yang asli ketika menanggapi pertanyaan JPU.
Sekaitan dengan keterangan saksi verbalisan, kedua terdakwa bersikukuh ada 2 versi dokumen kontrak. Dokumen yang ada pada kedua terdakwa adalah dokumen kontrak tanpa perincian dan dokumen dengan perincian, itulah yang ditandatangani belakangan.
Sementara Hj. Kartini terkesan berbelit-belit dalam memberikan keterangan, sehingga penasehat hukum kedua terdakwa, Pieter Wellikin, SH dan Paulus S.R. Renyaan, SH, termasuk majelis hakim maupun pengunjung sidang tampak geram.
Menurut Hj. Kartini, dirinya tidak pernah dimintai siapa pun untuk menandatangani dokumen kontrak lain lagi, hanya menandatangani dokumen kontrak di awal. Bahkan saksi juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani dokumen kontrak di saat proses penyidikan.
Mendengar keterangan Hj. Kartini yang berbeda dengan keterangan pada persidangan sebelumnya, Pieter Wellikin mengingatkan saksi bahwa menyampaikan keterangan bohong di bawah sumpah di persidangan bisa terancam 7 tahun hukuman penjara.
Saksi, Hj. Kartini tidak bergeming dengan peringatan ini dan menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani kontrak lagi, selain kontrak di awal.
Ketika penasehat hukum tidak bisa mengorek keterangan yang ‘disembunyikan’ oleh saksi Hj. Kartini, ternyata bisa dibongkar hakim anggota, Hermawanto.
Dengan begitu, akhirnya Hj. Kartini tidak bisa berkelit lagi ketika Hermawanto menunjukkan satu per satu dokumen-dokumen kontrak ‘fotocopian’ yang ditandatanganinya. Pada akhirnya, Hj. Kartini mengaku ada dokumen lain yang ditandatanganinya, selain dokumen kontrak, yang nilainya lebih besar daripada dokumen penawaran.
Di samping itu, Hj. Kartini juga mengaku tidak ada dokumen penawaran yang dibuat sebagai pemilik penginapan Kartini, tetapi setelah ada temuan BPK, maka dibuatlah dokumen kontrak yang disebut-sebut dengan perincian.
Ironisnya lagi, dokumen penawaran sewa gedung bukan dibuat oleh saksi Hj. Kartini, tetapi saksi meminta bantuan untuk dibuatkan terdakwa, Thomas Sanggemi, lalu belakangan ditandatangani Mesak Passalli sebagai Sekwan.
“Oh, jadi Pak Thomas (terdakwa, Thomas Sanggemi, red) yang goreng, ibu (Hj. Kartini, red) yang makan,” timpal Hermawanto terhadap Hj. Kartini.
Menurut Hj. Kartini, bukan dia yang membuat dokumen penawaran, tetapi meminta bantuan Thomas Sanggemi untuk membuat dokumen penawaran, karena waktu itu belum ada komputer dan admin. “Saya minta tolong Pak Thomas untuk membuat dokumen penawaran,” ucap Hj. Kartini.
Terkait dokumen fotocopian dan tidak adanya dokumen asli sebagai barang bukti perkara dugaan tipikor sewa gedung sementara DPRD Teluk Bintuni, kata Theophilos Auparay, semua dokumen ini didapatkan dari penyidik Polres Teluk Bintuni.
“Itu dokumen yang memang kami dapatkan dari penyidik, yang disita dan berdasarkan penetapan penyitaan ketua pengadilan, itu yang kami jadikan sebagai alat bukti yang kami limpahkan ke pengadilan,” ujar Theophilos Auparay yang ditemui wartawan usai sidang.
Ditanya bahwa dokumen yang dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan adalah dokumen fotocopian dan di mana sesungguhnya dokumen yang asli? “Kalau itu tanyakan ke penyidik,” jawab JPU.
Soal statement siapa yang goreng dan siapa yang makan, dimana Hj. Kartini justru tidak diproses hukum bersama kedua terdakwa, Mesak Passalli dan Thomas Sanggemi? “Susah, bagaimana e. Kalau itu pertanyaannya, kalau bisa ke penyidik, kan dia yang menyidik,” jelas Theophilos Auparay.
Apakah ada petunjuk dari JPU ke penyidik Polres Teluk Bintuni terkait status Hj. Kartini, yang disebut majelis hakim sebagai orang yang ‘makan’ setelah ‘digoreng’ terdakwa Thomas Sanggemi?
“Sementara kita masih proses penuntutan kan dari penyidikan ini. Nanti kita lihat pertimbangan majelis hakim seperti apa,” kata JPU.
Disinggung jika nanti ada pertimbangan majelis hakim soal dugaan keterlibatan Hj. Kartini dalam perkara ini? “Saya tidak bisa mendahului toh. Saya tidak bisa memberikan angan-angan atau opini,” tegas Theophilos Auparay.
Secara terpisah, Pieter Wellikin membenarkan bahwa dokumen-dokumen yang dijadikan barang bukti dalam perkara ini berdasarkan fakta di persidangan adalah dokumen-dokumen fotocopian.
“Iya itu benar. Secara materil itu tidak terpenuhi sebagai bukti yang sah, sehingga dengan sendirinya, bukti-bukti yang dihadirkan tidak mempunyai kekuatan hukum atau pembuktian yang kuat menurut hukum,” kata Pieter Wellikin yang ditemui wartawan usai sidang.
Lanjut dia, keterangan saksi, Hj. Kartini yang berubah-ubah, tetapi akhirnya terjebak dengan permainannya sendiri. Sebab, ungkap dia, saksi di awal menyangkal, tetapi setelah diminta majelis hakim, akhirnya mengaku ada 2 dokumen perjanjian kontrak sewa gedung, sebelum ada perincian dan sesudah ada perincian.
“Itulah yang terjadi, karena ada permintaan dari BPK,” tambah Pieter Wellikin seraya mengatakan bahwa sesungguhnya ada dokumen yang ditandatangani lagi setelah penanganan penyidikan perkara ini.
Dicecar soal siapa yang goreng dan siapa yang makan? Pieter Wellikin menegaskan, persoalan ini, semua pembayaran ditujukan ke Hj. Kartini sebagai pemilik penginapan Kartini.
“Seharusnya, dia secara hukum juga harus bertanggung jawab, pembayaran semua, pajak-pajak, baik itu PPh, pajak daerah, dan PPN. Dalam persidangan bahwa dua terdakwa sama sekali tidak melakukan proses pembayaran-pembayaran,” katanya.
Ditambahkan Pieter Wellikin, kedua terdakwa tidak berkewajiban membayar pajak-pajak, karena bukan wajib pajak. Seharusnya, tegas dia, pembayaran pajak semua harus dilakukan saksi, Hj. Kartini dan bendahara.
Apakah dalam penanganan perkara ini muncul kesan tebang pilih dan ada yang berupaya diloloskan oleh penyidik Polres Teluk Bintuni?
Pieter Wellikin mengungkapkan, sebenarnya penyidiknya yang tidak jeli dan serampangan dalam penanganan perkara dugaan tipikor sewa gedung sementara DPRD Teluk Bintuni, termasuk dengan adanya dokumen fotocopian.
“Perkara ini, kalau kita bicara mengenai wajib pajak, bukan mengarah ke tipikor, tetapi masuk ke pengadilan pajak. Jadi, perkara ini sebenarnya bukan tipikor atau salah alamat,” tandas Pieter Wellikin.
Disinggung tentang keterangan saksi yang terkesan berbelit-belit dan berbohong dalam persidangan, apakah akan ditindaklanjuti dengan membuat laporan keterangan palsu? “Kemungkinan besar akan dilakukan,” pungkas Pieter Wellikin. [TIM2-R1]