Pihak Pemohon menghadirkan Robi Wenda sebagai saksi Pemohon untuk memberikan keterangan dalam sidang perkara Nomor: 293/PHPU.GUB-XXIII/2025 PHPU Gubernur Papua Pegunungan 2024 di ruang sidang Gedung II MK, Rabu (1222025). Humas: Teguh
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan lanjutan untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Pegunungan pada Rabu (12/2/2025).
Sidang berlangsung di Majelis Panel 2 yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur beragenda pemeriksaan saksi dan ahli perkara Nomor: 293/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang diajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua Pegunungan nomor urut 2 Befa Yigibalom dan Natan Pahabol (Befa -Natan).
Dalam persidangan, Befa Yigibalom dan Natan Pahabol (Pemohon) menghadirkan 6 saksi untuk memperkuat argumentasinya berkenaan dengan manipulasi suara pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua Pegunungan 2024.
Dua di antaranya adalah Agus Kogoya dan Robi Wenda. Agus menjelaskan fakta yang terjadi di Distrik Kai Kabupaten Tolikara yang pada pokoknya tidak terdapat pemungutan suara pada distrik tersebut.
“Di situ tidak ada, tidak ada pemungutan suara untuk gubernur,” ujar Agus saat ditanya keberadaan pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua Pegunungan 2024 di Distrik Kai oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Agus menuturkan bahwa sekalipun tidak terdapat pemungutan suara di Distrik Kai, tetapi terdapat rekapitulasi suara di tingkat kabupaten. Menurutnya, adanya rekapitulasi suara di tingkat kabupaten tersebut bersumber dari penculikan dirinya beserta beberapa orang temannya yang kemudian dari penculikan itu tepatnya 29 November 2024, dirinya dan beberapa orang temannya diminta seseorang atas nama William untuk memberikan suara kepada calon gubernur Provinsi Papua Pegunungan nomor urut 1 sebanyak 100%.
“Itu pada saat tanggal 28 itu yang kami diculik dari kandidat nomor urut 1 Provinsi Papua Pegunungan kami dibawa ke kediaman Pak William sendiri di situ dengan massa 2 mobil. Kami menuju ke sana memang di situ ada tempat dipalang habis. Di sana kami ditahan dan HP kami semua disita habis. Jadi HP kami disita habis dan setelah itu besoknya tanggal 29 itu, Bapak sendiri Pak William sendiri yang sampaikan ke kami untuk memberikan suara untuk bupati nomor urut 4 100% dan juga dengan Provinsi Papua Pegunungan calon nomor urut 1 100%,” ujar Agus.
Adapun Robi menjelaskan berkenaan dengan fakta yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya yang pada pokoknya terdapat perubahan angka ketika rekapitulasi hasil suara distrik masing-masing di Kabupaten Lanny Jaya diantarkan ke KPU Provinsi Papua Pegunungan.
Sebagai contoh, di Distrik Kolawa tidak ada satu pun suara masyarakat yang keluar dengan dibuktikan dengan C-hasil bahwa suara untuk John Tabo kosong.
“Keseluruhan itu semua Befa punya dan pleno distrik di semua petugas itu juga angka-angka seutuhnya Befa dapat dan John Tabo tidak ada. Tapi pada saat antar ke KPU ini yang PPD melakukan coret dan tipe-x. Jadi suara dibagi,” ujar Robi.
Syarat Formil
Pada persidangan ini, KPU Provinsi Papua Pegunungan (Termohon) menghadirkan Aswanto sebagai ahli. Dalam keterangannya, Aswanto menjelaskan bahwa permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil karena apa yang diminta oleh Pemohon tidak diuraikan dalam posita.
“Tidak boleh meminta sesuatu pada petitum kalau tidak diurai di posita atau dengan kata lain, positalah yang menjadi dasar untuk mengajukan sesuatu,” ujar Aswanto.
Lebih lanjut, Aswanto juga memberi keterangan berkenaan dengan tidak terpenuhinya ambang batas selisih suara dalam PHPU Gubernur Papua Pegunungan tersebut.
Menurutnya, apa yang didalilkan oleh Pemohon tidak terdapat kejadian khusus sehingga tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk kembali ke Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016.
“Menurut saya apa yang didalilkan oleh Pemohon itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu kejadian yang khusus, sehingga menurut saya, Majelis Hakim Yang Mulia tidak ada halangan atau kendala untuk kembali ke Pasal 158 bahwa permohonan ini tidak bisa diterima karena tidak memenuhi syarat formil, syarat formil ambang batas dan syarat formil sebuah permohonan yaitu ada kesesuaian antara posita dan petitum,” jelas Aswanto.
Merusak Hukum
Selain menghadirkan Aswanto, Termohon juga menghadirkan Nur Hidayat Sardini. Dalam keterangannya, ia mengatakan kuantitas suara rakyat dalam pemilu adalah suara yang benar-benar menjadi suara yang tidak terbantahkan kecuali ditemukan hal-hal lain yang menjadi penghalangnya atau kemudian yang membatalkannya.
“Siapapun yang mencoba untuk tidak mengakui hasil pemilu dan atau pilkada tentu saja berarti berusaha untuk merusak hukum tertinggi termasuk kekuatan negara,” ujar Hidayat.
Lanjut Hidayat, UU Pemilu dan termasuk juga UU Pilkada telah menunjuk Bawaslu sebagain lembaga yang berwenang untuk menangani pelanggaran administrasi dan sengketa proses pemilu dan Sentra Gakkumdu sebagai lembaga yang berwenang untuk menangani tindak pidana pemilu.
Artinya, dalam sistem keadilan pemilu semua dapat diselesaikan keberatannya dengan mekanisme komplain secara berjenjang.
“Jadi, sistem keadilan pemilu mensyaratkan secara formil, formilnya harus dilihat siapa Pemohonnya, Termohonnya, pelanggarannya apa, dan seterusnya yang pada intinya semua apa yang dituduhkan, semua yang didalilkan, semua hal yang disampaikan itu tetap harus diuji dan pengujian itu melalui jenjang-jenjang yang sudah ditentukan oleh UU,” ujar Hidayat.
Tidak Bisa Melewati Pintu Treshold
Adapun pasangan calon nomor urut 1 John Tabo dan Ones Pahabol selaku Pihak Terkait menghadirkan Maruarar Siahaan sebagai ahli. Senada dengan Aswanto, Maruarar juga memberi keterangan berkenaan dengan syarat formil permohonan.
Bahkan, Maruarar juga menuturkan bahwa Pemohon tidak bisa mendalilkan dengan pas dari sudut prosedural formil dan juga dari sudut materiil serta tidak bisa mendukung apa yang sudah didalilkan. Terutama terkait dengan prosedur tentang pelanggaran-pelanggaran yang seharusnya sudah ada lebih dulu di tangan Bawaslu.
Oleh karena itu, Maruarar berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak ada jalan untuk masuk dan tidak bisa melewati pintu treshold.
“Dari sudut formal juga tidak dapat kita katakan lolos apalagi dari sudut materiil untuk membuktikan fakta-fakta yang diuraikan di dalam permohonan, tidak ada jalan masuk, pak ketua. Oleh karena itu, untuk permohonan saya kira ya bisa dipikirkan oleh majelis apa yang terbaik tetapi menurut saya tidak bisa melewati pintu treshold,” ujar Maruarar.

Sebagai informasi, sebelumnya dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Rabu (15/1/2025), pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua Pegunungan nomor urut 2 Befa Yigibalom dan Natan Pahabol (Pemohon) mendalilkan tingginya perolehan suara pasangan calon nomor urut 1 John Tabo dan Ones Pahabol (Pihak Terkait) disebabkan oleh manipulasi suara yang terjadi di tiga kabupaten.
Habel Rumbiak selaku Kuasa Hukum Pemohon menuturkan bahwa sebanyak 32 distrik di Kabupaten Tolikara Provinsi Papua Pegunungan tidak melakukan pemilihan dan pleno tingkat PPD, dan yang melaporkan hasil-hasil pemilihan secara sepihak ke KPU Provinsi Papua Pegunungan (Termohon) adalah saksi-saksi Pihak Terkait.
Karena itu, Habel menuturkan bahwa perolehan suara Pemohon pada 32 distrik tersebut hanyalah 0 suara sebab semua suara pemilih dialokasikan kepada Pihak Terkait.
“Keseluruhan hasil suara dari ke-32 distrik tersebut harusnya tidak sah, terlebih secara bulat dan sepihak hanya diperuntukkan kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur nomor 1,” ujar Habel.
Dalam petitum, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk membatalkan Keputusan Termohon Nomor 75 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Pegunungan Tahun 2024.
Bersamaan dengan itu, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menetapkan perolehan hasil suara dirinya sebesar 614.643 suara dan perolehan suara Pihak Terkait sebesar 503.849 suara. [Penulis: Ahmad Sulthon Zainawi/Editor: N. Rosi/Humas: Fauzan F]