Manokwari – Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU-KPK) menghadirkan sejumlah saksi dari lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Sorong untuk memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Selasa, 28 Mei 2024.
Para saksi yang dihadirkan, yaitu: Lambert Jitmau (mantan Wali Kota Sorong), Hengky Tetelepta (staf Inspektorat Kota Sorong), Margaretha Lazarus (Kabag Umum), Aryanti S. Kondologit (Kepala BPKAD), dan Erna Arbag (Kabid Aset BPKAD).
Persidangan dipimpin majelis hakim yang diketuai, Helmin Somalay, SH, MH, didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH, atas terdakwa, Patrice L. Sihombing (mantan Kepala BPK Perwakilan Papua Barat), Abu Hanifa Siata (Kasubaud BPK Perwakilan Papua Barat), dan David Pata Saung (ketua tim pemeriksa PDTT BPK di Kabupaten Sorong) yang didampingi para penasehat hukumnya masing-masing.
Dalam kesaksiannya, Hengky Tetelepta mengaku diberi uang sebesar Rp. 300 juta oleh Margaretha Lazarus di jalan raya, dekat Yohan. Usai menerima uang yang diisi dalam kantong kresek, saksi menandatangani kuitansi yang intinya untuk tamu-tamu Pemkot Sorong.
Soal angka sebesar Rp. 300 juta, Hengky Tetelepta menjelaskan, itu sudah menghitung terlebih dahulu bersama saksi, Margaretha Lazarus terkait jumlah orang dan biaya penginapan para pemeriksa BPK yang dipimpin ketua tim, Dzul Firmansyah Dengo.
“Kami hitung bersama dengan ibu Margaretha. Kami hitung satu orang itu mencapai Rp. 60 juta, tetapi disanggupi Rp. 300 juta. Satu orang untuk biaya penginapan antara Rp. 900.000 sampai Rp. 1 juta per hari, dikalikan tujuh orang selama 60 hari, sehingga nilainya Rp. 300 juta lebih,” rinci Hengky Tetelepta.
Selain menerima uang dari Kabag Umum, saksi mengaku menerima uang dari Sarah Kondjol, Sekretaris DPRD (Sekwan) Kota Sorong sebesar Rp. 200 juta untuk diberikan ke ketua tim pemeriksa BPK di Kota Sorong, Dzul Firmansyah. “Ibu serahkan uang di samping ruko, di arah Remu,” kata Hengky Tetelepta.
Diakui saksi, setelah menerima uang Rp. 200 juta dari Sekwan, dirinya menandatangani kuitansi dan jika tidak salah, terkait pembiayaan tamu-tamu Setwan. Bukan itu saja, Hengky Tetelepta juga mengaku menerima uang sebesar Rp. 20 juta yang diberikan Amos Jitmau di parkiran Pemkot Sorong.
Dengan demikian, jumlah uang yang dikumpulkan staf Inspektorat Kota Sorong ini sebesar Rp. 520.000.000, lalu diserahkan seluruhnya kepada ketua tim pemeriksa BPK Perwakilan Papua Barat di Kota Sorong, Dzul Firmansyah.
Setelah menyerahkan uang lebih setengah miliar Rupiah tersebut, Hengky Tetelepta diberikan uang Rp. 15 juta oleh Dzul Firmansyah. “Katanya untuk beli handphone yang pecah,” kata Hengky Tetelepta.
Saksi, Margaretha Lazarus mengatakan, dirinya memang menyiapkan uang sebesar Rp. 400 juta di brankas dari UP (uang persediaan). Dari jumlah itu, Rp. 300 juta diberikan kepada Hengky Tetelepta yang belakangan diserahkan saksi ke ketua tim pemeriksa BPK, Dzul Firmansyah.
Namun, saksi tidak bisa menjawab pertanyaan JPU-KPK secara detail, apakah ada pertanggungjawaban dari uang-uang yang diberikan sebesar Rp. 300 juta tersebut.
Diakui Margaretha Lazarus, sebelum menyerahkan uang sebesar Rp. 300 juta, dia tidak memberitahukan Sekda Kota Sorong, Rudy R. Laku. Setelah uang itu diserahkan ke Hengky Tetelepta, baru saksi, Margaretha Lazarus memberitahukan Sekda perihal pemberian uang tersebut.
“Beliau bilang yang penting bisa dipertanggungjawabkan,” kata Margaretha Lazarus menirukan tanggapan Sekda setelah diberitahukan tentang pemberian uang Rp. 300 juta tersebut.
Sementara itu, di persidangan juga, penasehat hukum dari terdakwa, Abu Hanifa Siata sempat memarahi saksi, Hengky Tetelepta.
Pasalnya, ketika ditanya apa kapasitas saksi meminta-minta uang untuk ketua tim pemeriksa BPK, Hengky Tetelepta terlihat tertawa dan tersenyum, sehingga penasehat hukum Abu Hanifa naik pitam. “Jangan tertawa, hormati sidang,” ujarnya.
Sementara itu, Lambert Jitmau mengaku pernah berkomunikasi dengan Abu Hanifa, ketika ditanya hakim, Hermawanto.
Dalam komunikasi itu, ada pembahasan terkait pinjaman dari RSUD sebesar Rp. 3 miliar pada 2022. Belakangan diketahui, uang tersebut dipinjam Lambert Jitmau untuk membiayai ‘perjuangan’ pemekaran Provinsi Papua Barat Daya (PBD).
Menurut mantan Wali Kota Sorong ini, pinjaman itu sudah dibayarkan atau dikembalikan langsung sebesar Rp. 3 miliar pada 14 September 2023. “Itu sudah selesai dan tidak ada masalah,” klaim Lambert Jitmau.
Soal pengadaan alat tulis kantor (ATK) pada 2016 di BPKAD Kota Sorong sebesar Rp. 2,6 miliar? Menurut Lambert Jitmau, pimpinan OPD yang bersangkutan memang ada temuan, sehingga ia memerintahkan yang bersangkutan segera mengembalikan, tidak mau ada temuan.
Berlanjut ke saksi Hengky Tetelepta. Hakim Hermawanto pun mencecar saksi, dari siapa inisiatif untuk menanyakan tentang ‘uang tamu’ ke Kabag Umum, Margaretha Lazarus. Sembari tertawa dan tersenyum, saksi mengatakan, itu inisiatifnya sendiri, tidak ada inisiatif atau diperintah orang lain.
“Senyum saudara ini luar biasa, akhirnya uang negara keluar. Hati saksi dan Dzul Firmansyah ini sungguh-sungguh berhati mulia. Satunya meminta uang dan yang satunya berbaik hati membelikan hp yang pecah,” imbuh hakim.
Sementara saksi, Margaretha Lazarus mengaku, selama ini untuk anggaran makan dan minum tamu-tamu Pemkot Sorong, tidak ada mekanismenya. Hal itu diketahui setelah saksi dicecar, apa mekanisme untuk pengeluaran uang makan dan minum tamu-tamu Pemkot Sorong.
Saksi hanya menjelaskan bahwa uang makan dan minum tamu Pemkot Sorong, misalnya dipakai ketika ada kunjungan DPR-RI, seperti terkait pemekaran, tetapi tidak ada juklak (petunjuk pelaksana) atau juknis (petunjuk teknis).
Hakim pun mencecar Margaretha Lazarus lagi. Apakah uang Rp. 300 juta yang diberikan ke saksi, Hengky Tetelepta untuk diserahkan ke ketua tim pemeriksa BPK sudah dibuat pertanggungjawabannya? Margaretha Lazarus mengatakan, pertanggungjawabannya hanya kuitansi saja setelah uang yang diberikan ke Hengky Tetelepta.
Melihat pengeluaran uang yang mengkhawatirkan di lingkungan Pemkot Sorong seperti keterangan para saksi di persidangan, hakim pun berpesan untuk Lambert Jitmau yang disebut-sebut akan maju sebagai bakal calon gubernur pada Pilkada Provinsi Papua Barat Daya 2024.
“Kalau kelak terpilih, bisa memperhatikan soal uang negara, jangan dikeluarkan tanpa rambu-rambu,” pinta hakim Hermawanto mengingatkan mantan Wali Kota Sorong ini.
Usai mendengar keterangan para saksi, sekaligus mengkonfirmasi sejumlah dokumen yang ditunjukkan JPU-KPK, ketua majelis hakim, Helmin Somalay menutup persidangan dan akan dilanjutkan pekan ini. [TIM2-R1]