Hakim Tipikor: Mimpi Anda Ini Merusak Negara, Tetapi Tidak Ada Hasilnya

Sidang perkara dugaan tipikor pemberian fasilitas kredit pada BRI KCP Manokwari Kota, Jumat, 20 Juni 2025 malam sekitar pukul 23.45 WIT. Foto: TIM2 Sidang perkara dugaan tipikor pemberian fasilitas kredit pada BRI KCP Manokwari Kota, Jumat, 20 Juni 2025 malam sekitar pukul 23.45 WIT. Foto: TIM2

Manokwari – Sejumlah fakta menarik terungkap dalam sidang perkara dugaan tipikor pemberian fasilitas kredit pada BRI Tbk cq BRI Kantor Cabang Pembantu (KCP) Manokwari Kota, Jumat, 20 Juni 2025 yang digelar hingga pukul 23.50 WIT.

Sidang beragenda pemeriksaan keempat terdakwa dipimpin ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Papua Barat pada Pengadilan Negeri (PN) Manokwari, Helmin Somalay, SH, MH didampingi hakim anggota, Pitayartanto, SH dan Hermawanto, SH.

Keempat terdakwa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Papua Barat, Mustar, SH, MH, Tulus Ardiansyah, SH, MH, dan rekan, yaitu: Mardiyanto Suryo, Irwan P. Wijaya, Daniel Mohse Y, dan Muhammad Zamzani yang didampingi masing-masing penasehat hukumnya.

Di persidangan, para terdakwa menjadi saksi untuk para terdakwa lain, diawali dengan pemeriksaan terhadap Zamzani, Irwan Wijaya, Daniel Mohse, dan terakhir, Mardiyanto Suryo.

Dalam pemeriksaan Zamzani, hakim anggota, Hermawanto terlihat kesal lantaran saksi, Zamzani hanya mengikuti alur pembacaan berita acara pemeriksaan (BAP) dari JPU. “Jangan lama-lama lagi. Kalau memang keterangannya sama dengan BAP, biar kita catat saja,” ujar Hermawanto.

Diingatkan Hermawanto, keterangannya yang hanya mengikuti alur BAP dari JPU justru akan memberatkan dirinya sendiri.

Akhirnya, penasehat hukum terdakwa Zamzani, Cuncun Hidayat, SH mengakui tentang kondisi kliennya setelah ditahan. Dikatakan penasehat hukumnya, sejak terdakwa ditahan, ada perubahan sikapnya menjadi pendiam, sehingga meminta jika tidak keberatan, pemeriksaan terhadap Zamzani bisa didampinginya.

Menanggapi keterangan penasehat hukumnya, Helmin Somalay mempertanyakan, mengapa hal ini tidak disampaikan sejak awal, sehingga majelis hakim bisa membatasi pertanyaan untuk terdakwa.

Diakui Zamzani, sesungguhnya titipan pengajuan kredit yang diprakarsai Mardiyanto, sudah disampaikan juga ke pimpinannya. Namun, kata Zamzani, dirinya justru mendapatkan sanksi PHK (pemutusan hubungan kerja) berdasarkan hasil audit, tetapi merasa apa yang dikerjakannya, tidak menyalahi aturan.

Dirinya mengaku sempat berangkat ke Jakarta bersama ketiga terdakwa lain, Mardiyanto, Irwan, dan Daniel, termasuk ada 2 orang lagi atas nama Herman dan Steven.

Zamzani mengatakan, keberangkatannya ke Jakarta dibayar Mardiyanto dan sempat menumpang untuk menginap di hotel bersama para terdakwa. Dicecar tujuannya berangkat ke Jakarta, Zamzani menjawab untuk jalan-jalan dan ketemu orang, sekaligus mau mengambil titipan.

Ditambahkannya, selaku ‘pemrakarsa’ dari pengajuan kredit dari 8 debitur, termasuk Irwan, dilakukan dalam waktu dekat atau hitungan bulan, antara 2021-2022.

Sedangkan saksi Irwan menceritakan awal mula dirinya bergabung dalam ‘mimpi besar’ yang dipromotori terdakwa, Mardiyanto. “Saudara, kita punya proyek ini besar, 10 juta dolar,” sebut Irwan menirukan penyampaian Mardiyanto.

Dirinya pun ‘terlena’ untuk mendapat proyek besar dari PT Antam di Halmahera Timur, terkait pembangunan smelter, khususnya di bagian listrik. Akhirnya, berbagai upaya dilakukan untuk melobi proyek bernilai jutaan dolar itu.

Irwan mengaku berangkat ke Jakarta lebih dari 5 atau 7 kali, karena rekanan dari proyek tersebut ada di Jakarta. Namun, ia tidak memiliki rincian pengeluaran uang selama pengurusan atau melobi proyek tersebut.

Diungkapkan Irwan, Mardiyanto juga mengajukan kredit di BNI sebesar Rp. 3 miliar dengan memakai jaminan dari saksi, Irwan. Khusus dari pencairan kredit dari BRI sebesar Rp. 950 juta, kata Irwan, dirinya hanya menerima Rp. 50 juta dan sisanya dipegang Mardiyanto.

Setelah gagal mendapatkan proyek di Halmahera Timur, saksi juga diberitahu bahwa ada sejumlah proyek di Gorontalo. Untuk itu, dirinya diminta Mardiyanto berangkat ke Gorontalo, sehingga menjual emas milik istrinya sebesar Rp. 30 juta untuk berangkat ke Gorontalo.

Ditambahkan saksi Irwan, Mardiyanto memiliki ‘piutang’ kurang lebih Rp. 10 miliar terhadap seseorang yang berdomisili di Manokwari, tapi dirinya tidak tahu, apakah yang bersangkutan pemilik usaha atau tidak.

Di persidangan pemeriksaan terdakwa, ketua majelis hakim terus mengingatkan supaya tidak lagi membahas proyek-proyek tersebut, karena pada intinya semua proyek itu gagal.

Kemudian, saksi Daniel mengaku tidak pernah mendapatkan fee setelah proses pencairan atas permintaan Mardiyanto, baik melalui tabungan atau cek.

Terkait pemecatannya setelah bekerja selama 10 tahun di BRI, Daniel mengaku juga bertanya-tanya, karena PHK-nya disebutkan gara-gara pelanggaran disipilin.

Sepengetahuannya, sanksi dari pelanggaran disiplin harus disertai surat peringatan 1, 2, dan 3, tidak langsung di-PHK. Keluarganya, ungkap Daniel, pernah menanyakan tentang PHK-nya ini, tetapi tidak ada tanggapan sampai saat ini.

Meski keterangannya dibantah para terdakwa lain, tegas Mardiyanto, semua (Irwan, Daniel Mohse, dan Zamzani), termasuk Ari, mengetahui dari awal tujuan dari pengajuan kredit tersebut. “Kita punya mimpi bersama,” ucap Mardiyanto.

Mimpi bersama yang indah tersebut, diantaranya membangun gudang grosir dan kafe berlantai 3 jika nantinya proyek-proyek dari pengajuan kredit ini berhasil.

Mardiyanto yang pernah menjadi karyawan BRI, mengaku mempunyai usaha kios grosir dan minimarket sebelum terjerat kasus ini. “Saya dulu punya toko, tapi tanahnya punya notaris, Pak Handoko, tapi saya yang bangun,” katanya tanpa memberi penjelasan lebih jauh.

Sekaitan dengan peminjaman kurang lebih Rp. 10 miliar terhadap Haji Mina, Mardiyanto tidak membantah. Namun, tegas Mardiyanto, tidak ada kerja sama dengan Haji Mina, tetapi mengaku meminjamkan uang ke Haji Mina, kurang lebih Rp. 10 miliar.

Ditanya penasehat hukumnya, Rustam, sebagai mantan karyawan senior di BRI, apakah boleh meminjam nama untuk pengajuan kredit? “Seharusnya, kalau pinjam nama dari pengajuan kredit tidak boleh. Tetapi, itu yang sering terjadi dalam pengajuan kredit,” kata Mardiyanto.

Hakim pun mencecar Mardiyanto tentang peran dari setiap terdakwa ini dalam perkara dugaan tipikor pemberian fasilitas kredit. Dijelaskan Mardiyanto, Zamzani yang memproses pengajuan kredit, Irwan ke proyek dan mencari nasabah atau debitur, sedangkan Daniel dalam proses pencairan terhadap nasabah.

Hakim anggota, Hermawanto mencecar saksi perihal aliran dana miliaran Rupiah dari pengajuan kredit. Menanggapi pertanyaan itu, Mardiyanto menjelaskan, uang tersebut diantaranya dipakai untuk membayar sertifikat dan sebagian angsuran, entertain pengurusan proyek, karaoke, dan tiket perjalanan kurang lebih 10 orang.

Bahkan sekali perjalanan, sebut Mardiyanto, menghabiskan anggaran Rp. 1,8 miliar. Namun, Hermawanto tidak percaya dengan keterangan Mardiyanto yang menyebut sekali perjalanan ke sejumlah kota di Indonesia, termasuk entertain menghabiskan miliaran Rupiah. “Mimpi Anda ini merusak negara, tetapi tidak ada hasilnya,” tukas Hermawanto.

Berdasarkan dakwaan JPU dalam pengajuan hingga pencairan kredit mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp. 9.985.597.942.

Rinciannya, realisasi plafon kredit yang telah dibayarkan PT BRI (Persero) Tbk cq Kantor Cabang Pembantu Manokwari Kota terhadap 11 debitur sebesar Rp. 10.700.000.000 dan jumlah angsuran pokok yang telah dibayarkan oleh 11 debitur sebesar Rp. 714.402.058, sehingga sisa yang dianggap menjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp. 9.985.597.942. [TIM2-R1]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *